Keluarga yang Retak Kembali Menyatu Restorative Justice Kejati NTT Pulihkan Hubungan Tersangka dan Korban
Kejaksaan RI, Kupang, 17 November 2025 – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) kembali mengimplementasikan Restorative Justice (RJ) sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana yang humanis, cepat, dan berorientasi pada pemulihan. Pada Senin (17/11/2025), Kejati NTT melaksanakan ekspose penghentian penuntutan secara virtual dari Ruang Restorative Justice Kejati NTT pukul 06.00–07.30 WITA.
Ekspose ini membahas dua permohonan penghentian penuntutan dari:
- Kejaksaan Negeri Sikka atas nama tersangka FRANSISKUS YULIANUS RENDI melanggar Pasal 362 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
- Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara (TTU) atas nama tersangka YOHANES NESI alias YANCE BIKEFI alias YANCE melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP.
Kegiatan dipimpin langsung oleh Dr. Undang Mugopal, S.H., M.Hum., SESJAMPIDUM yang juga bertindak sebagai Plt. Direktur A pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM). Hadir pula Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum. (JAMPIDUM Kejagung RI), Wakajati NTT Teuku Rahmatsyah, S.H., M.Kn., Asisten Tindak Pidana Umum Dr. Bayu Setyo Pratomo, serta para Kajari dan pejabat Pidum se-NTT.
Kajari Sikka Armadha Tangdibali, S.H., M.H., dan Kajari TTU Andri Tri Wibowo, S.H., M.Hum., masing-masing menyampaikan pemaparan lengkap mengenai kronologi, perkembangan penanganan, serta dasar pertimbangan permohonan penghentian penuntutan atas perkara yang mereka ajukan.
Kasus Posisi Singkat
1. Perkara Kejari Sikka – tersangka Fransiskus Yulianus Rendi (Pasal 362 KUHP jo. 64 KUHP)
Perkara bermula pada 18–20 Agustus 2025 ketika tersangka mengambil perhiasan dan uang milik tantenya, MARGARETA REGHO, akibat tekanan ekonomi dan tunggakan biaya kuliah. Total kerugian korban mencapai Rp12.500.000, namun seluruh kerugian telah dipulihkan tanpa syarat.
Tersangka dan korban masih memiliki hubungan keluarga, telah berdamai, serta masyarakat memberi dukungan positif terhadap proses pemulihan.
2. Perkara Kejari TTU – tersangka Yohanes Nesi alias Yance (Pasal 351 ayat (1) KUHP)
Kasus penganiayaan terjadi pada 20 Agustus 2024 antara tersangka dan korban yang merupakan sepupu. Tindak kekerasan dipicu selisih paham mengenai akses keluar-masuk truk pengangkut pasir.
Korban mengalami luka memar dan luka robek sebagaimana visum dokter. Namun kedua pihak telah berdamai secara adat di Lopo Desa Letmafo dan bersepakat menyelesaikan perkara melalui Restorative Justice.
Pertimbangan Penghentian Penuntutan
JAMPIDUM menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan:
- Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
- SE Jampidum No. 01/E/EJP/02/2022 serta ketentuan internal lainnya.
Pertimbangan utamanya meliputi:
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
- Ada kesepakatan damai tanpa syarat antara korban dan tersangka.
- Kerugian telah dipulihkan.
- Kedua pihak memiliki hubungan keluarga dan kembali hidup rukun.
- Dukungan positif dari masyarakat dan tokoh adat.
- Kajari menjamin proses RJ tanpa transaksional.
Pernyataan Wakajati NTT
Wakajati NTT menegaskan bahwa Restorative Justice menjadi sarana negara untuk menyelesaikan perkara secara bijaksana dengan menempatkan pemulihan hubungan kekeluargaan sebagai prioritas utama. Melalui proses dialog dan perdamaian, ikatan keluarga yang sempat retak dapat dipulihkan, sehingga tercipta kembali harmoni di tengah masyarakat. Kejati NTT memastikan setiap permohonan RJ diproses secara profesional, transparan, dan bebas intervensi demi menjamin pemulihan yang nyata dan berkelanjutan.
Capaian Restorative Justice Kejati NTT
Hingga pertengahan November 2025, penerapan Restorative Justice di lingkungan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur menunjukkan perkembangan yang signifikan. Total 69 perkara berhasil dihentikan penuntutannya melalui mekanisme RJ, sebagai wujud komitmen Kejati NTT dalam menghadirkan penyelesaian perkara yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan.
Dari jumlah tersebut, Kejari Sikka mencatat 10 perkara dan Kejari Timor Tengah Utara 5 perkara, yang seluruhnya diselesaikan melalui proses dialog, pemulihan kerugian, serta kesepakatan damai yang diterima para pihak dan didukung masyarakat.
Penutup
Kejaksaan Tinggi NTT menegaskan komitmennya untuk terus mendorong penerapan Restorative Justice secara selektif, akuntabel, dan berorientasi pada kemanfaatan publik. Melalui pendekatan ini, Kejati NTT berharap terwujudnya penyelesaian perkara yang lebih adil, humanis, serta memperkuat keharmonisan di tengah masyarakat Nusa Tenggara Timur.